Marhaban ya Ramadan 1446 H

Network
OPINI

WTP Bukan Sertifikat Anti Korupsi

Mengapa opini tertinggi dari BPK tidak selalu mencerminkan bersihnya tata kelola anggaran?

Oleh: BAHAR KOROMPOT

Setiap kali Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil audit keuangan pemerintah pusat dan daerah, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sering kali disambut sorak sorai. Para pejabat berlomba-lomba mengklaim bahwa perolehan WTP adalah bukti keberhasilan mereka dalam mengelola anggaran secara bersih, transparan, dan akuntabel.

Namun, persepsi ini tidak sepenuhnya tepat. Bahkan bisa menyesatkan jika tidak dipahami secara kritis. WTP bukan berarti tidak ada korupsi. Ini adalah fakta penting yang perlu terus digaungkan, agar publik tidak terjebak pada pemahaman semu tentang makna sebenarnya dari opini WTP.

Opini WTP adalah penilaian tertinggi dalam audit laporan keuangan pemerintah. Namun perlu dipahami bahwa opini WTP hanya menyatakan bahwa laporan keuangan disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan dianggap menyajikan informasi yang wajar, dalam semua hal yang material. Artinya, BPK menilai bahwa secara teknis, laporan tersebut tidak mengandung kesalahan yang signifikan dari sisi penyajian.

Namun yang perlu digarisbawahi: audit keuangan BPK tidak secara langsung bertujuan untuk membongkar tindak pidana korupsi. Pemeriksaan BPK bersifat administratif dan substantif, bukan investigatif dalam ranah hukum pidana. Jika dalam pemeriksaan BPK ditemukan indikasi kerugian negara atau dugaan pelanggaran hukum, barulah hal tersebut dapat dilimpahkan ke aparat penegak hukum untuk didalami lebih lanjut.

Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa opini WTP tidak otomatis mencerminkan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Beberapa pemerintah daerah yang menerima opini WTP dari BPK, justru dalam waktu bersamaan terjerat kasus dugaan penyalahgunaan anggaran, gratifikasi, pengadaan barang/jasa fiktif, dan sebagainya.

Kita bisa mengingat beberapa kasus kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), padahal instansi yang mereka pimpin mendapat opini WTP berturut-turut. Hal ini menunjukkan bahwa di balik laporan keuangan yang tampak “bersih”, bisa saja tersembunyi praktik kecurangan yang tidak terdeteksi dalam audit konvensional.

Mengapa bisa terjadi? Karena laporan keuangan bisa saja disusun dengan sangat rapi dan terstruktur, namun praktik korupsinya disembunyikan melalui manipulasi dokumen, penyamaran kegiatan, atau melalui kerja sama sistemik antarpelaku. Di sinilah pentingnya fungsi pengawasan publik dan aparat hukum, yang melampaui sekadar verifikasi administrasi.

Masalah lain yang muncul adalah politisasi opini WTP. Banyak pejabat menjadikan WTP sebagai alat legitimasi politik. Mereka menggunakannya dalam kampanye, membangga-banggakan seolah capaian WTP adalah jaminan tidak adanya penyimpangan. Bahkan dalam beberapa kasus, perolehan WTP dikemas seolah-olah hasil perjuangan pribadi kepala daerah, bukan kerja teknokratis tim pengelola keuangan.

Ini tentu sangat disayangkan. Publik harus cerdas dan kritis dalam menyikapi ini. WTP bukan ukuran moral, bukan pula indikator langsung dari integritas seorang pemimpin. Jika terlalu diagung-agungkan, WTP justru bisa menutupi kesalahan yang seharusnya diungkap.

Sudah saatnya masyarakat, media, dan pemangku kepentingan lainnya memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan opini audit. Kita harus memandang WTP secara objektif sebagai capaian administratif yang patut diapresiasi, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk menutup mata terhadap indikasi pelanggaran hukum.

Transparansi dan akuntabilitas yang sesungguhnya tidak cukup ditunjukkan lewat laporan keuangan yang rapi. Ia harus dibuktikan dengan keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran, pelaporan yang jujur, serta penindakan tegas terhadap pelanggaran sekecil apa pun.

Opini WTP memang penting. Ia mencerminkan adanya kepatuhan terhadap standar akuntansi pemerintahan. Tapi kita harus menempatkannya secara proporsional. Jangan sampai WTP dijadikan tameng untuk membungkam kritik atau justifikasi atas kepemimpinan yang sebetulnya bermasalah.

Publik perlu tetap waspada dan kritis. Karena di tengah euforia perolehan WTP, korupsi bisa saja terus berjalan dalam senyap. Maka, mari kita jadikan WTP sebagai salah satu instrumen kontrol, bukan sebagai simbol kesucian pemerintahan yang tak boleh disentuh kritik.

Redaksi ProFakta

Berita yang masuk di Email, Whatapps dan Telegram Redaksi akan di Edit terlebih dahulu oleh Tim Editor Media ProFakta.com kemudian di publish.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button